Alien Andromeda Part 3
Saat aku menulis ini, langit
sedang mendung, angin berkeliaran diantara pepohonan, dan matahari sedang sopan
menodongkan cahayanya di luar kelas. Awan sore itu berwana agak hitam, diam di
tempat seperti tak ada pemandu untuk pulang. Aku sedang mendengarkan dosen
praktik auditku yang berbicara mengenai suatu transaksi keuangan diatas kursi merah
berbusa yang beliau duduki. Tentu saja aku duduk di bangku paling belakang, bersama kelima
temanku yang sedang bergosip ria tentang suatu hal yang tidak terlalu aku perhatikan. Duit,
audit, laporan keuangan, hanya tiga kata itu yang mampu masuk ke gendang
telinga, sisanya musnah entah kemana.
Dosenku ini memang sedikit membosankan
tetapi baik dalam memberikan nilai dibandingkan salah satu dosenku yang lain (read: pak yang sudah lama terlupakan). Beliau masih
berbicara dengan nada bertanya, “Kenapa? Kenapa?” dengan alis yang dinaikkan
untuk membuat kami penasaran. Namun, kami tak bergeming seolah menunggu beliau
untuk menjawab sendiri pertanyaannya. Kami hanya terdiam, mendengarkan, atau
tidak sama sekali.
Tepat di belakang kursi kayu
bermeja yang sedang aku duduki, seseorang memanggilku dengan nada berbisik. Mataku
membesar heran memandang sosok di belakang punggungku saat itu. Entah sejak
kapan kamu duduk disana. Mata sendumu berubah biru dan telingamu bergerak lucu.
Ujung matamu bersinar tetapi tidak menyilaukan. Mata itu berkaca-kaca penuh
keresahan tak beralasan. Kamu masih tersenyum. Ah, senyumanmu memang manis
seperti dulu. Ujung bibirmu membentuk sudut kecil, membuat setiap manusia yang
memandang tak ingin melupakan mimik wajah aneh itu. Kamu bersandar pada sebuah kursi
kayu usang sambil melipatkan kedua tanganmu, memberiku isyarat agar tetap memerhatikan
dosen yang berbicara mengenai rencana pengungkapan perasaan cinta para lelaki
terhadap wanita yang disukainya.
Oh iya, beberapa minggu ini, aku tidak mudah
menangis. Beberapa hari ini, sebercanda itu perasaanku sampai mudah aku
permainkan sendiri. Banyak hal yang bisa aku lakukan seperti bermain make up di kamar, bermain dengan anak
kucing atau mandi rutin dua kali sehari. Aku tidak lagi menyesal atau kecewa karena jiwaku
masih sehat dan masih bisa berbahagia pada hal-hal yang sederhana. Saat memikirkannya,
aku teringat beberapa pertanyaan –bukan lagi bagaimana kabarmu- yang ingin aku
lontarkan dalam hati seperti dosen penasaran di depan, “Kenapa baru datang? Apa
kamu termasuk dalam golongan orang yang datang jika aku senang dan pergi ketika
aku kesusahan?”
Karena yang aku tahu, tidak semua
orang bersedia ada untuk jatuh bersama.
Kedua alis kunaikkan untuk
membuat hatiku sendiri penasaran. Kamu mendengar semua pertanyaan yang aku
ucapkan tapi tak bergeming seolah menungguku untuk menjawab sendiri
segala pertanyaan tersebut, mencari sendiri di google atau bertanya kepada kaum
ask fm yang akan menjawabnya dengan bijaksana agar mereka terus ditanya.
Ah, berjumpa denganmu secara tiba-tiba
seperti ini membuatku berandai-andai dan memiliki banyak keinginan untuk
diwujudkan. Menatap alien sepertimu membuatku ingin menghancurkan Andromeda agar
kau tidak bisa pulang dan tinggal lama bersamaku seperti saat kita pertama kali
bertemu. Jika aku bisa keluar bebas
seperti dulu, ajaklah aku melihat pantai dan hujan di sepanjang jalan. Ajaklah
aku mencari sate dan jagung bakar di trotoar dan ajarkanlah aku terbang tinggi membelah
angkasa seperti yang sering kamu pamerkan kepadaku ketika kecil. Atau jika itu tidak mungkin, ajaklah
aku mendengarkan setiap perjalananmu menuju Andromeda, dan ceritakanlah bagaimana kabar
teman-temanmu disana.
Ada yang berkata kepadaku, bahwa
hidup itu terlalu singkat untuk menunggu.
Jangan salah, aku tidak sedang
menunggumu. Aku juga tidak berharap terlalu banyak kepada seekor alien yang
datang dan pergi tak jelas bagaimana memantrainya untuk kembali. Aku juga tidak
ingin berakhir seperti Patrick Star.
Semoga aku tidak sedang menjilati ludah sendiri, atau jika memang nantinya aku berakhir seperti itu, semoga aku segera tahu mantra untuk memanggilmu kembali di tulisan chapter 4 yang akan diupdate lama sekali.
Daun mangga di luar jendela bergoyang pelan
menunggu hujan. Seiring angin berhembus dengan sayunya, burung-burung di luar mengepakkan sayapnya untuk pulang ke sarang anaknya. aku masih duduk santai di depanmu dan kamu masih menantiku
pulang untuk membuatkan jus wortel kesukaanmu seperti dulu. Dosen auditku masih
berceramah santai dengan nada tingginya. Teman-temanku mulai resah menatap penunjuk
waktu di handphone mereka masing-masing. Aku menengok ke belakang, kelipan di kepalamu
yang mati menyala mati masih saja menggangguku sedari tadi. Mata kita bertemu
dan bibir kita tersenyum lama bersama. Gerimis mulai tiba, dan kamu mulai pergi
lebih cepat dari kecepatan cahaya.
Saat itu aku tersadar, diantara semua
suasana yang datang lalu hilang, kamu adalah mendung yang paling aku rindukan.
27 September 2016, ditulis saat pelajaran
praktik audit.
nb: jangan berharap tulisannya bagus, karena ini ditulis bener-bener pas lagi ada dosennya ._.
nb: jangan berharap tulisannya bagus, karena ini ditulis bener-bener pas lagi ada dosennya ._.
Komentar
Posting Komentar