Penjemput Setia

Malam ini, lelaki tampan itu menyanyi kecil di atas motor. Tanganku memegang bajunya yang basah di bawah mantol. Aku mulai mengingat kejadian demi kejadian, dimana aku berulang kali berada di atas motor yang sama dengannya. Berdua, ya, berboncengan bersama dengan ayah paling tegar sedunia.


Dari mulai TK, hanya ayah yang akan kutunggu di bawah perosotan sendirian. Ia akan segera datang ketika guru TK-ku  tiba-tiba menelpon ke kantornya karena aku mulai menangis meminta pulang.

SD-SMP-pun begitu. Ayah adalah pahlawan setiaku. Ia akan mengantarkan segala hal yang lupa aku bawa ke sekolah. Mereka tidak akan pernah tahu, ayah adalah sosok yang pernah menggendongku sendirian di malam petang sambil menunggu ibu pulang, membawaku ke kantornya sambil ia jaga, dan menidurkanku dengan susah payah kemudian sholat  dengan gelisah.

Saat aku SMA, aku harus berpisah dengan ayah. Kami hanya bisa bertemu dua minggu sekali, itupun jika benar 2 minggu, kadang bisa sebulan, bahkan 2 bulan, sesuai persediaan uang yang masih aku pegang. Saat aku ingin pulang ke rumah, ayah adalah sosok yang akan setia menunggu 1 jam di terminal sendirian. Hujan?  Apa yang tidak untuk anak perempuan? Begitu ucapnya bangga seolah akulah anak kesayangannya.

Saat kuliah, ayah akan sangat senang ketika aku ingin pulang. Ayah akan terus menelpon sepanjang perjalanan dan segera berangkat setelah sholat subuh walaupun bisku baru akan sampai pukul 6 di terminal. Ketika kami bertemu, muka ayah selalu terlihat semakin tua, tetapi aku masih bisa melihat senyum sumringah di wajahnya. Dalam perjalanan pulang, kami akan mengobrol panjang dan beliau akan menyanyikan semua lagu dangdut kesukaannya.

Oh iya, aku pernah di opname. Ayah jauh-jauh datang dari Ngawi ke rumah sakit di Bintaro dan sering tidur di lantai dingin itu sendirian. Ayah bilang, ia suka dingin. Ayah bilang, tidak perlu cari tikar.

Setiap pagi, siang dan sore, ayah akan membawakan makanan dari luar rumah sakit yang jauh lebih enak dibanding masakan ahli gizi di rumah sakit itu, dan ayah akan menukar  lauknya untukku, kemudian ia akan memakan bubur hambar itu sampai habis menggantikanku. Sungguh, buburnya sama sekali tidak enak hingga aku trauma memakan bubur ayam sampai sekarang.

Sampai akhirnya, pengalaman yang tidak pernah aku lupakan seumur hidup itu datang menyelingi kehidupanku dan ayah. Ayah menjemputku dengan muka yang semakin tua. Keriput di wajahnya semakin jelas. Semua ubannya hampir menutupi rambutnya yang hitam. Padahal, dulu, ayah sering sekali memintaku mencabuti uban-uban lucu itu satu persatu, satu helai uban, 100 perak aku dapatkan.

Ayah mengangkat dua kardus itu dengan muka sedih. Dalam perjalanan, mata kami kosong bak suatu saraf hilang dari impulsnya. Tak sepatah katapun kami ucapkan.

Aku menarik nafas dalam-dalam mencoba menahan suara tangis yang benar-benar  ingin keluar. Dengan tangan bergetar, Aku memegangi kedua ujung baju ayah, berharap cepat bisa melewati perjalanan paling dingin pertama kami yang menusuk sampai ke otak paling dalam yang menyakitkan dan merusak pikiran. Aku benar-benar bisa merasakan apa yang ayah rasakan. Di pagi yang masih gelap itu, kami meneteskan kedua air mata kami bersama sebagai tanda bahwa saat itulah waktu yang paling tepat untuk merayakan kehilangan, kehilangan untuk saling membahagiakan, untuk saling takut akan hilangnya harapan di masa depan, dan untuk saling merasa pedih di saat orang yang kita sayang merasa kesakitan. Kami menangis bersama tanpa suara, melepaskan semua darah yang kini meleleh keluar setelah beku sekian lama. Ya, tentu saja kami tak mengutuk siapapun yang menusuk kami hingga terluka. Ayah cuma tahu, bagaimana itu semua telah diatur supaya lukaku menganga, dan ia akan mengobati putri kesayangannya sampai bisa kembali tertawa.

Malam ini, aku bersama ayah. Ia masih bernyanyi riang sambil menyetir di depan. Aku memeluknya dari belakang sambil mengenang segala kejadian yang telah terlewatkan. Hujannya semakin deras. Maskerku basah dibanjiri anak sungai dari kelopak mata atau air hujan sesungguhnya. Aku membungkuk dibelakang punggung ayah sambil menghitung berapa kali ia telah menjemputku seperti ini. Saat itu, aku sudah menangis dari tadi tanpa ayah sadari. Aku berteriak keras mengalahkan suara hujan sambil setengah tertawa,


“Ayah! Hiduplah lebih lama, akan aku buatkan cucu paling tampan sedunia.”









Note ucapan maaf buat hassyati dika mora: maap yak dongengnya belum jadi, masih setengah. i stuck with that :(

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepada Kamu

Entah Apa Judulnya