Hujan dan Tuan Tentir

Kemarin, air itu jatuh di teras, membasahi lantai coklat yang jarang disapu, membersihkan segala debu yang menempel sejak bulan lalu. Kini lantainya licin, jika kamu berjalan diatasnya, maka kamu akan mudah terpeleset, jatuh, kemudian menangis.  Aku juga demikian, aku mulai tahu bahwa terpeleset itu menakutkan. Aku mulai beranjak perlahan, dan mulai berjalan dengan hati-hati diantara linangan air yang menyentuh jari-jari kaki kiri dan kananku bergantian.
Segelas jahe panas yang baru saja  aku bakar di kompor  menemaniku diantara suara yang mengingatkanku pada suatu kamar yang selalu terkena terocohan tepat diatas kasurnya. Semakin keras suaranya, semakin sering pula ia terjun bebas. Kamu bisa menghitung tetesannya, meletakkan mangkok tepat diatas perutmu dan bernyanyi kecil. Tak apa jika suaramu kurang merdu, hujan selalu bisa mengiringi nada itu apapun lagumu. Air itu akan menetes tepat diatas mangkok dan menemani waktumu diantara sepoi angin petang.  Ketika aku mulai merindu, maka aku akan melirik ponsel di sampingku, kemudian menunggu. Tak apa jika tak ada apa-apa, maka aku bisa menunggu tetes-tetes berikutnya.
Dua bait diatas hanyalah pembukaan. Tak perlu kamu dalami apa makna sebenarnya, karena aku hanya ingin menuliskannya untuk pemanis bait-bait berikutnya. Ini mengingatkanku kembali pada suatu hari yang hujan. Ada  dua bola mata anak kecil yang berdiri di depan bangku-bangku ruangan. Matanya berkeliling mengamati kepala-kepala di depannya. Kadang, bola matanya naik keatas untuk mencari ingatannya yang hilang sesaat. Rambutnya basah, raut mukanya lelah. Mungkin malam harinya, ia begadang membaca buku favoritnya.  Suaranya mantap, menjelaskan bahwa ia memang sangat menguasai materi yang dibawakannya. Ritme suaranya sangat cepat, meskipun apa yang ia terangkan sangat jelas, aku tak akan mengerti. Ia mencatat sedikit di papan tulis, kemudian kami mulai menulis cepat di buku tebal yang kami pegang untuk meniru apa yang dia tuliskan di depan. Ia berjalan diantara dua sisi bangku sambil mengamati kami yang sedang mencatat, kemudian ia bersandar di tembok belakang dan mengusap keringatnya. Hanya dia yang berkeringat di musim hujan. Poni-poninya basah. Ia mengamati tulisannya sendiri dari belakang. Tidak terlalu buruk untuk tulisan anak laki-laki, menurutku.  Tanpa sadar, aku mulai tersenyum di bangku paling belakang, melirik dan menebak apa yang sedang dia pikirkan. Dia duduk tepat di samping bangkuku, meletakkan kepalanya diatas meja dan memejamkan matanya dua sampai lima detik. Mungkin dia tak akan pernah sadar, bahwa setiap orang di ruangan itu, terlalu mudah untuk mengagumi pejaman matanya  dari detik pertama sampai kelima.
Hujan perlahan reda, aku mulai berjalan keluar ruangan di lantai tiga. Lantainya basah. Aku akan mudah terpeleset disana tentu saja. Dua, tiga, empat langkah, kakiku berjalan di lantai yang salah. Tubuhku jatuh memecah keheningan sore yang mulai tergugah marah melihat gerakanku yang salah tingkah. Dua kaki itu berjalan kemari, tangan kanannya  membantuku berdiri. Poninya masih basah seperti tadi. Aku menyapanya dengan hati-hati dan mulai membersihkan sisa-sisa air di baju serta pipi kanan dan kiri,

"Hujan, jatuhkan saja aku lagi dan lagi."





tulisan ini terinspirasi dari tentir cost accounting semester 3.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepada Kamu

Entah Apa Judulnya