Salah Siapa?

Pagi ini air mata saya belum berhenti. Sudah saya seka sekian kali, tetapi masih mengalir lagi. Ibu bertanya kenapa saya  tidur terus, kenapa seharian di kamar cuma peluk guling kemudian pindah kamar peluk guling yang lain lagi, kenapa makanan di meja masih utuh tidak tersentuh, kenapa. 

Mungkin ibu tau, saya sedang stress karena masalah ini, bahkan dia beberapa hari ini baik sekali, mengantarkan makanan ke kamar dan berkata manis di depan saya seolah mengetahui rasa tersiksa saya melihatnya seperti itu. Mungkin ibu tahu saya sedang menangis sendirian, mungkin dia tidak memastikan demikian karena takut saya akan menceritakan kabar buruk yang tidak pernah ingin dia dengar.


Berkali-kali saya minta doa ke teman-teman, saya mengetik dengan sembunyi-sembunyi karena takut ibu tahu saya sedang menangis, berkali-kali saya menerima doa mereka dan semangat yang terus meyakinkan saya bahwa semua akan baik-baik saja. Saya hampir yakin, saya hampir dibuat optimis. Terimakasih, tetapi keyakinan dan keoptimisan saya dipatahkan lagi oleh kenyataan.  Rasanya seperti ada bola di dalam perut saya dan akan meledak begitu saja.

Berdoa? Sungguh, saya telah melakukannya semaksimal mungkin. Saya memohon agar beberapa orang tergerak hatinya dan Tuhan bisa menurunkan 1000 malaikatnya untuk membawakan kabar gembira. Teman-teman terbaik saya bahkan berjanji akan selalu menyebutkan nama saya di setiap sholat malamnya.

Bahkan saat malam tiba, saya selalu meminta semangat itu lagi dan lagi. Apa yang harus saya lakukan? Ketika mereka tidur, saya  merasa terlalu sendirian. Bahkan disaat seperti ini, saya benar-benar sensitif, siapa yang peduli terhadap saya dan siapa yang tidak.

Rasa bersalah saya terus muncul ketika saya melihat orang tua begitu baik-baik saja dengan keadaan yang tidak pernah saya ceritakan. Saya sungguh ingin menangis dan menceritakan semua, tetapi sekali lagi, saya tidak bisa.

Apa saya bisa tidur dalam waktu yang sangat lama? Dan ketika saya bangun, semua hanyalah mimpi yang mendewasakan saya, dimana saya tahu bahwa kenyataan tidak sedang demikian. Tuhan, saya patah karena 2 tambahan angka. Jika benar-benar ini kenyataan, tolong berikan sebuah keajaiban yang mengejutkan.

Saya mengusap lagi mata kanan dan kiri, berkata pada mereka apa guna hal ini ditangisi. Jangan ditanya, jelas saya memiliki rasa iri. Dan pada akhirnya siapa yang berhak saya maki? Jelas diri saya sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepada Kamu

Entah Apa Judulnya