Dongeng dan Mitos tentang Hujan



Kau begitu lucu saat berada di belakangku, membaca sebuah dongeng fantasi yang membawamu ke dalam dunia cinta bertepuk sebelah tangan yang sering kau lakonkan. Mungkin, saat itu kau pikir dunia ini seperti dongeng, dimana kamu bisa menjadi seekor kancil nakal yang mencuri timun dan aku bisa menjadi seorang petani yang bisa kamu sakiti bertahun-tahun.

Ah coba bayangkan timun curianmu itu adalah hatiku, Cil. Terlalu klasik jika aku berbicara tentang permasalahan hati. Kamu tak akan mengerti bahwa terjadi sebuah tragedi antara hatiku melawan logika yang memunculkan banyak pertanyaan untuk kutujukan kepadamu dengan sedikit lancang,


"Bisakah kamu mengganti timun curianmu yang telah kau makan?
Apa yang kau lakukan setelah kuminta dirimu untuk mengembalikan?
Hanya bisa kau muntahkan kan?
Setelah kau pergi, bagaimana perasaanku yang telah kau muntahkan lalu semuanya berceceran diantara kenangan yang sulit terlupakan?"

Sungguh, kamu datang dan pergi seolah dunia milikmu sendiri.

Pada mulanya kamu tak lebih dari seorang pendongeng yang terlalu percaya pada keajaiban kata semoga. Lalu kau ciptakan imajinasi tanpa logika dimana aku terjebak di dalamnya. Kamu terlalu asik bermain dengan hujan tanpa mempedulikan bahwa petir adalah senjata yang menyakitkan dalam permainan yang kau mainkan. Aku menarik tanganmu agar bulir hujan tidak memusingkanmu ketika kau bermimpi nanti malam. Tapi kemudian kau melepaskan tanganku, berlari menjauhi sepatu basahku yang terkena genangan air diatas aspal di depan toko buku. Wajah teduh di depan mataku itu menengadah untuk mencari tetesan air yang membasahi pipi putihmu yang semakin membiru. Senyum itu masih ada di dalam ingatanku, kau begitu lucu.

Saat itu aku tersadar, sesungguhnya mencintaimu diantara hujan adalah dunia yang benar-benar menyenangkan.

Namun, hujan telah berhenti. Aroma tanah yang sering kamu pamerkan tak pernah setia menjadi teman bermainku dikala aku menangis sendirian. Sekarang, bukankah aku dan kamu tidak lagi melihat hujan secara bersamaan?


Bolehkah aku membenci hujan? Bagiku, hujan adalah sebuah kunci untuk membuka pintu kenangan yang sedang aku rahasiakan.


Di antara ratusan juta manusia yang tinggal di bumi ini, ada yang datang dan pergi di dalam kehidupan. Mereka hanyut dalam sebuah lukisan Tuhan bernama pertemanan, permusuhan, dan percintaan. Aku ingin menamai lukisan kita sebagai percintaan, tetapi kau menyangkal bahwa lukisan itu harus dinamakan sebagai pertemanan. Dan pada akhirnya, kita sepakat untuk menamainya sebagai permusuhan. Kenapa? Karena sebenarnya, kita tidak pernah digambar Tuhan dalam satu lukisan bersamaan.

Aku masih bisa menatapmu dari bunyi hujan dan aroma tanah yang begitu menggelikan. Masih ingatkah? Dulu kau pernah bertanya kepadaku, saat itu kamu berjalan dibelakangku dengan kepala basah dan muka yang sedikit pucat,
“kenapa menemaniku bermain hujan? tidak takut sakit?”

Kau tau?

Aku benar-benar sakit sekarang.

Kau begitu ajaib dalam memantrai sebuah perasaan. tahukah bahwa mitos pernah mengatakan, ketika kamu melamunkan seseorang ketika hujan, maka orang yang sedang kamu lamunkan akan memimpikanmu di tidurnya sambil kedinginan. Jika kau nantinya benar memimpikanku, tolong mintalah kepadaku sebuah jaket yang akan menghangatkanmu agar kau tidak mudah terbangun saat menemuiku di mimpi panjangmu.

Pada akhirnya, kita berpisah di jalan yang mendung setelah mengucap selamat tinggal. Kau melambaikan tangan dan tertawa bangga karena berhasil merayakan sebuah tantangan alam. Mungkin kamu melupakan suatu hal bahwa pada saat itu, kau berhasil dicintai oleh seorang yang benar-benar mendambakan ketulusan.

Saat aku menulis ini, hari sedang hujan, kita tidak pernah bertemu lagi meskipun sudah ribuan hujan terlewati. Dalam lambaian tangan terakhirmu di persimpangan jalan, sadarlah bahwa tak ada yang benar-benar selamat dalam ucapan selamat tinggal yang pernah kau sampaikan.
Apakah aku petani yang salah mencintai? Bisakah aku mengatakan di depan kancil bahwa segala hal yang telah dimakan tak lagi bisa dikembalikan? Hati yang kamu curi tak bisa seenaknya utuh kembali setelah berubah menjadi muntahan yang kau ucapkan pelan untuk meyakinkanku bahwa kamu tak pernah sekalipun mencintaiku saat itu. Menyakitkan kan? Namun sekali lagi kau harus percaya, bahkan setelah sakit, aku tak menyesal pernah bermain hujan.

Hujan turun lagi. Genting-genting menyanyikan lagu air untuk mengingatkan bahwa aku masih disana dan kau telah tiada. Tidak adakah suatu senyawa kimia yang bisa menyatukan hatiku dan hatinya, wahai semesta?

Aku menutup jendela. Menaiki kasur lalu membaca halaman terakhir dari buku dongeng yang basah karena terocohan. Di akhir cerita, seorang petani berdoa kepada semesta yang bijaksana, ia hanya menginginkan satu permintaan,

semoga kancil tak mati kehujanan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepada Kamu

Entah Apa Judulnya